BAB I
PENDAHULUAN
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat
didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta,
hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan
mengenai masalah hukum ataufakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau
kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Dalam Case
Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah
Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa
yaitu:
a). Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat
fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke
Irak
b). Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran
1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil
putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga
Iran.
c). Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak
tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada
sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs.
United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa
antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut
terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat
disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada
tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
d). Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak
yang bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation
to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of
26 June 1947.
Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan
tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang,
invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam
hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut
akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The
Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan
Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun
karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak
mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan
sebagai metode penyelesaian sengketa.
Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai
secara formal lahir dari diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The
Hague Peace Conference) tahun 1899 dan tahun 1907. Konferensi perdamaian ini
menghasilkan: “The Convention on the Pacific Settlement of International Disputes
(1907)”Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:
a). Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct
International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia.
Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah
mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian.
Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal
17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa
pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah
Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut
peraturan
tersebut.
b). Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat
dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect
International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan
suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang
diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat.
Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport. Kedamaian dan
keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang
digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4)
Piagam.
Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih
lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam
menyelesaikan sengketa, diantaranya :
(a)
Negosiasi
(b)Enquir yaitau penyelidikan
(c)Mediasi
(d)Konsiliasi
(e)Arbitrase
(f)Judicial Settlement atau
Pengadilan
(g) Organisasi-organisasi atau Badan-badan
Regional .
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan
secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara
hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke
dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi;
dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau
jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian
sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja
menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan
internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah
Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara
diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara
anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa,
negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur
penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan
peradilan tertentu, karena penyelesaian secara diplomatik akan lebih melindungi
kedaulatan mereka.
1.2
Permasalahan
a. Apa penyebab timbulnya sengketa internasional?
b. Bagaimana cara penyelesaian sengketa internasional?
c. Bagaimana peran Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa
internasional?
1.3
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang penyebab timbulnya sengketa
internasional dan cara penyalesaiannya oleh Mahkamah Internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Timbulnya Sangketa
Internasional
Penyebab Sengketa Internasional
Sengketa intenasional dapat
dipicu oleh beberapa faktor seperti berikut.
1) Faktor
Ideologi
Faktor ini dapat memicu
ketegangan, bahkan pertempuran yang panjang antara dua kelompok negara dengan
ideologi yang berbeda.
2) Faktor
Ekonomi
Faktor ini menjadi salah satu
latar belakang utama perselisihan dimuka bumi.
3) Faktor
Politik
Sengketa politik selalu
dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional setiap negara yang bersengketa.
4) Faktor
Sosial Budaya
Dalam melaksanakan kewajiban dan
pemenuhan hak tidak jarang terjadi benturan kepentingan antara negara terhadap
satu masalah yang berkembang.
2.2 Upaya Penyelesaian Sengketa
Internasional
Prinsip-Prinsip
Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
a) Prinsip itikad
baik (good faith);
b)
Prinsip
larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
c) Prinsip kebebasan
memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
d) Prinsip kebebasan
memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
e) Prinsip
kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
f) Prinsip penggunaan
terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa
prinsip exhaustion of local remedies);
g) Prinsip-prinsip
hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah
negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip
di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang
bersifat tambahan, yaitu:
a. Prinsip larangan
intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
b. Prinsip persamaan
hak dan penentuan nasib
sendiri;
c. Prinsip persamaan
kedaulatan negara-negara;
d. Prinsip
kemerdekaan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa
secara diplomatik seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam
penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau
penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima
metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan
masing-masing.
(a).Negosiasi.
Negosiasi adalah perundingan
yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi
merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas
digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi
sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah :
1) Para pihak sendiri
yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;
2) Para pihak
memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui
negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;
3) Para pihak
mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;
4) Negosiasi
menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
Segi negatif/kelemahan dari negosiasi
adalah:
1) Negosiasi tidak
pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;
2) Negosiasi menutup
kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak
berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.
Penyelesaian sengketa ini
dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa
ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki
dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat
dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau
dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Negosiasi merupakan cara
penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada
permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam
penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi
biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para
pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak
ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau
organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang
pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan
konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme
negosiasi, antara lain:
a) Para pihak
memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan
diantara mereka
b) Para pihak
mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
c) Dapat menghindari
perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
d) Para pihak mencari
penyelesaian yang bersifat win-win solution,sehingga dapat diterima dan
memuaskan kedua belah pihak
(b). Enquiry atau
Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa
antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta.
Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta
para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para
pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki
fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian
dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa
diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta
dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry
yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa.
Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa
internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang
kemudian diteruskan pada tahun 1907.
(c). Mediasi
Melibatkan
pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak
ketiga dapat berupa individu atau kelompok (individual or group), negara atau
kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga
bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling
bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam
perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia,
Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari
penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang
dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara
Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan
demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and
actually takes part in the negotiation).
Mediasi biasanya dilakukan oleh pihak ketiga ketika pihak yang
bersengketa tidak menemukan jalan keluar dalam penyelesaian suatu masalah.Maka
pihak ketiga merupakan salah satu jalan keluar dari jalan buntu perundingan
yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Seorang mediator harus netral (tidak memihak salah satu pihak yang
bersengketa) dan independen. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat
pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada.
Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa
yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa
internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi,
intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin
untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan
solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang
melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen.
Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak
sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa
bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk
melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur
komunikasi tambahan.
Pelaksanaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian
internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European
Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
(d). Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi
menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini
biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para
pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga
atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang
diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi
ini tidak mengikat para pihak.
Proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan
dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah
konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan
mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus
dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi
akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang
diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan
menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan
penyelesaian sengketa.
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ
yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak
yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul
penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and
suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut
tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua
belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand
selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian
Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis
maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
(e). Good Offices atau Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak
ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh
Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of
one or more States or an international organization in a dispute between states
with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua
bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis
(political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau
organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa
ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa
baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak
langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik
mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan
oleh Negara.
2.3 Peranan Mahkamah Internasional Dalam
Menyelesaikan Sengketa Internasional
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam
hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi
mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den
Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat
(3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama
antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar“semua negara menyelesaikan sengketa
mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian
melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan
kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui
pengadilan dapat ditempuh melalui:
a. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional
adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara
bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu
terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu
cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang
telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa.
Hal-hal yang penting arbitrase adalah;
(a) perlunya persetujuan
para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(b) sengketa diselesaikan
atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani,
1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan
prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang
mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau
komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan
komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak
dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.Pengadilan
arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel
hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus
para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.
Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat;
(a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase,
(b) metode pemilihan panel arbitrase,
(c) waktu dan tempat (dengar pendapat),
(d) batasfakta yang harus dipertimbangkan, dan
(e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan
yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani,
1990, 214)
Masyarakat internasional
sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain
(a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang
Internasional (Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce) yang didirikan di
Paris, tahun 1919,
(b) pusat Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal Internasional (International
Centre for Settlement of Investment Disputes) yang
berkedudukan di Washington DC,
(c) Pusat Arbitrase
Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre
for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia
dan
(d) Pusat Arbitrase Dagang Regional
untuk Afrika (Regional Centre for
Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani;
216)
b. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat
internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent,
yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat
sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal
14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan
untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun,
walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional,
bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut.
Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya
Perang Dunia II, maka negara-negara di
dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah
Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah,
kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan
organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada
dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama,
karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
a). Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara
biasa,
yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa.
b). Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat
nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat
mengikat bagi yang
meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani,
1990; 217), sedangkan menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber-sumber hukum internasional yang dipakai
oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
a). Perjanjian internasional (international
conventions), baik yang bersifat
umum, maupun khusus.
b). Kebiasaan internasional (international custom).
c). Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui
oleh
negara-negara
beradab.
d). Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang
telah
diakui kepakarannya, yang merupakan sumber
hukum internasional
tambahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek
mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak
lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum, fakta-fakta atau
konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda.
Adapun Prinsip-Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa Secara Damai
adalah:
a) Prinsip itikad baik (good faith);
b) Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam
penyelesaian sengketa;
c) Prinsip kebebasan memilih cara-cara
penyelesaian sengketa;
d) Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan
diterapkan terhadap pokok sengketa;
e) Prinsip kesepakatan para pihak yang
bersengketa (konsensus);
f) Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum
nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local
remedies);
g) Prinsip-prinsip hukum internasional tentang
kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB
memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
a) Prinsip larangan intervensi baik terhadap
masalah
b) Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
c) Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d) Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
3.2 Saran
Secara pribadi maupun sebagai bangsa Indonesia haruslah dapat
memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini
harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu
sengketa dengan negara lain diserahkan kepada Mahkamah
Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada
persengketaan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.anneahira.com/sengketa-internasional.htm (15/03/2012)
Rejeki, Sri.
2006. Modul Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA-SMK/MAK.Surakarta: PT.
Patama Mitra Aksara
Suwarni, Dra.,
dkk.2008. Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XI.Jakarta.Arya Duta.