Home » , , , , , » Makalah masakan kuah khas aceh

Makalah masakan kuah khas aceh


Makanan khas kua aceh
makanan kuah aceh

1.1        Latar Belakang
Makanan khas merupakan identitas suatu daerah yang dapat membedakan keberadaan
dengan daerah lain. Begitu juga keberadaan makanan khas suku bangsa Aceh yang berbeda dengan makanan khas dari daerah lain di Indonesia. Kekayaan kuliner Aceh diwariskan dari generasi ke generasi hanya dengan lisan sehingga sukar untuk dapat diketahui secara pasti kapan keberadaan makanan khas tersebut di Aceh, salah satunya kuah blang.

Kuah Blang adalah salah satu makanan khas aceh dan sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh saat menyambut musim tanam padi tiba. Sebelum dimulainya waktu turun ke sawah, terlebih dahulu diadakan selamatan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya hasil padinya bagus, jauh dari gangguan hama dan memenuhi panen seperti yang diharapkan. Hajatan ini dinamakan Kenduri Blang (selamatan turun ke sawah). Masyarakat akan menyembelih seekor sapi atau kerbau sesuai dengan kemampuan masyarakatnya dan dimasak dengan bumbu khas kuah blang di dalam belanga besar. Kemudian hidangan ini akan disantap bersama-sama. Hingga kini, kuah blang menjadi menu utama disetiap acara selamatan, hajatan, pesta perkawinan dan kegiatan-kegiatan perayaan lainnya. Bisa dikatakan, bila tidak ada menu kuah blang, maka belum dikatakan lengkap acara hajatan tersebut.

1.2         Rumusan Masalah
a)             Bagaimana sejarah salah satu masakan khas sumatera (aceh)
b)             Bagaimana tata cara tradisi kenduri blang di Aceh
c)             Bagaimana resep makanan kuah blang

1.3        Tujuan
a)           Mengetahui sejarah salah satu masakan khas Sumatera (Aceh)
b)           Mengetahui tata cara tradisi kenduri blang di Aceh
c)           Mengetahui resep makanan kuah blang

BAB II
PEMBAHASAN

2.1           Sejarah
Sejarah kuliner di belahan dunia manapun, kolonialisme, penjelajahan dan arus perdagangan memegang peranan yang sangat besar dalam pertukaran budaya termasuk pertukaran kuliner. Penjelajahan Marcopolo mencapai Cina, menyerap budaya makan mie dan membawanya ke Italia untuk menjadi spagheti. Belanda yang menjajah Indonesia membawa pengaruh kuliner berupa bistik sampai budaya makan ala Rijstaffel. Tahun 1600 an, dunia perdagangan telah menghantarkan para pedagang dari Gujarat (India) masuk ke negara kita. Sebenarnya mereka bukan orang Gujarat asli, mereka orang-orang asli daerah Jazirah Arab yang berlayar untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Dalam pelayarannya mereka sempat singgah dan menetap di Gujarat untuk beberapa lama (sekaligus menyerap kebudayaan termasuk kuliner), lalu sebagian tinggal disana dan sebagian melanjutkan pelayarannya hingga masuk ke Indonesia.
 Tempat pertama di Indonesia yang mereka singgahi tentu saja Aceh sebagai titik transfer pelayaran Asia Tenggara. Di Aceh mereka juga sempat tinggal beberapa lama, berdagang dan menyebarkan Islam, sebagian tinggal di Aceh dan sebagian lagi melanjutkan pelayaran menyusuri sepanjang pesisir barat Sumatera, terus ke Jawa. Di Aceh, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan sebagian wilayah Aceh Barat, Kuah Blang (gulai sawah) merupakan menu kuah daging yang sangat khas.

Di Aceh banyak terdapat warung-warung dan restaurant yang menyajikan menu khas kuah blang dari daging kambing (bu sie kameng kuah blang). Bahkan, banyak warung yang hanya khusus menyediakan daging kambing saja tanpa ada menu-menu lainnya. Warung-warung tersebut banyak ditemui hampir diseluruh pelosok wilayah Aceh.
                                                                         
2.2            Tata Cara Tradisi Kenduri Kuah Blang di Aceh
Khonduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah, dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kemodernannya.
Diawali dari keinginan mengangkat adat budaya turun ke sawah yang secara turun temurun dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.

Zaman dahulu adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu dimungkinkan perbedaan upacara adat tersebut antara zaman dulu dengan sekarang. Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang. Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di kampong Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.

Asal usul kenduri blang atau khanduri blang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat persiapan kenduri oleh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi bungkus atau bu kulah. Dalam tata caranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut keyakinan masyarakat disana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga dilakukan baca surat yaasin sekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkah hingga dapat dizakatkan. Usai pembacaan yaasin dan do’a bersama, dilakukan tepung tawar dan alat-alat bibit pada tani. Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan pada peusijuek antara lain, berteh (padi yang di gongseng hingga mengembang) digunakan supaya ringan padi keluar, sebutir telur ayam kampung, ini dipercaya sebagai kepala obat. Seikat daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.

Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah mulai berisi biasanya diadakan kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan do’a.
Menurut kisah orang-orang kampung, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan. Jika dilihat sekarang hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu dan ditancapkan ditengah-tengah sawah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan hama lainnya tidak berani mendekat.

Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak ke sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat, hari rabu terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu di sawah juga dilarang berbicara takabur. Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain pertama, mengetahui berapa banyak kelompok penanaman padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua, megadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga, mengadakan peraturan pantangan-pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani menjaga pantangan-pantangan secara bersama-sama. Keempat, mengadakan peraturan penanaman, hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menana padinya. Apabila ada salah satu petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan lebih mudah terserang hama.

Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen, pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik. Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang ke rumah untuk diselipkan diatas atap. Setelah itu baru padi dipanen semua. Jika hasil mecapai 100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan 10 kaleng. Zakat itu dibagika kepada fakir miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.
a)           Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebutKhanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan, dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal. Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada Babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan miliki petani tadi.
      Menurut petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur dan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada. Seperti yang kita temuai saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.
      Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kambing atau kerbau juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan saat ini kaum ibu yang suka menanam bungan di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga. Demikian juga dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan di tanami padi.
      Para petani sering dikarakteristikan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersma-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka. Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk-pauk lainnya untuk melengkapi khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal perswahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada ditengah sebelum penanaman. Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaran Khanduri setiap tahunnya.
      Di lahan itu ditanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani. Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang. Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga dapat menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa pulang sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.


b)           Masa Padi Berbuah
            Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya setelah padi setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan. Namun pada umunya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudaha/rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakanya dengan memberi makan seorang yatim dengan sekali waktu. Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keramat.
            Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik. Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamis seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi. Upacara dapat dilakukan di rumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang di peusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan yang punya hajatan. Tidak ada ketentuan seberapa besar khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani karena yang penting adalah niat  yang tulus sebagaimana pendapat para ulama bahwa khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.
            Bila dianalisa lebih dalam khanduri memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandaka keikhlasannya dan bisa saja imbalan itu diberikan melalui padi yang di tanamnya.

c)           Sesudah Masa Menuai
            Tahap kedua usai dan tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan khanduri lagi agar apa yang ia dapat dalam masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan uangkan maka dapat pula digunakan dengan benar membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.
            Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru di panen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini. Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi.
            Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata alhamdulillah mewakili doa yang paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu megalir pula harapan semoga panen di usim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi. Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan khanduri itu maka waktunya tidak boleh bersmamaan. Oleh karena itu petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya. Sebenarnya meskipun setiap petani memuali masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berbeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
             Dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat. Hal lain yang tak kalah penting di upacara tahap ketiga ini adalah menunaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hasil hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterusnya.
             Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar ? belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawahnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.


2.3            Resep Kuah Blang
Bumbu :
a)      Bawang putih 4 siung
b)      Cabe merah 6 siung
c)      Cabe kering 10 buah
d)     Kunyit hidup seibu jari
e)      Kunyit kering 2 sendok
f)       Ketumbar masak halus 6 sdm
g)      Ketumbar mentah halus 4 sdm
h)      Kelapa goreng ½ ons
i)        Merica ½ sdm halus


Bahan :
a)      Daging kelas 2 => 1 kg
b)      Bawang merah 1 ons
c)      Kelapa ¼ buah
d)     Asam jawa 3 sdm (dalam bentuk cair)
e)      Serai 2 batang
f)       Jahe seibu jari
g)      Lengkuas seiris
h)      Daun temurui/ daun kari secukupnya
i)        Garam secukupnya
j)        Pisang/nangka secukupnya

Cara membuat :
a)      Haluskan bumbu lalu campur dengan daging agar bumbunya meresap serta tambahkan garam secukunya.
b)      Kelapa digiling kasar, bawang merah di rajang, lengkuas dan jahe diketok hingga pecah.
c)      Kemudian bahan dicampur dengan daging yang telah dilumuri bumbu kecuali bawang merah yang telah di rajang, tambah air secukupnya lalu masak hingga matang.
d)     Pada saat kuah mulai mendidih, masukkan bawang merah yang telah di rajang, kemudian saat menjelang matang tambahkan pisang/ nangka sesuai selera.











BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan

Tradisi tron u blang adalah salah satu tradisi dari aceh yaitu tradisi saat memulai turun kesawah, menanam padi sampai memanen padi dan itu biasa dilakukan pada petani di daerah tersebut. Kuah blang adalah makanan khas petani Aceh yang selalu disajikan pada saat tradisi tro u blang dan makanan ini berupa kuah daging ayam di campur dengan nangka yang disajikan dengan nasi bungkus.  


3.2.     Saran

Tradisi peninggalan nenek moyang, khususnya di Aceh yaitu tradisi tron u blang harus di lestarikan dam harus dilaksanankan agar khususnya budaya Aceh umumnya budaya Indonesia tetap terjaga dan tidak hilang terkikis oleh zaman.





DAFTAR PUSTAKA


http://www.anneahira.com/makanan-khas-aceh.htm

0 komentar:

Post a Comment

Ads Inside Post